Saya Bicara Soal Kaderisasi

Dalam menjalani sebuah kehidupan, dibutuhkan visi hidup demi menunjang keberlangsungan masa depan yang lebih baik. Di sisi lain, manusia dengan kelebihan dalam segi mental dan rasionalitasnya semestinya telah mempunyai visi hidupnya masing-masing. Dimana konsep visi hidup yang baik memerlukan suatu bentuk proses yang berkelanjutan demi menunjang dan menjamin tercapainya visi hidup yang dicanangkan. Suatu proses yang saya sebut PENDIDIKAN.
Pendidikan berasal dari kata didik, yang dalam KBBI diartikan sebagai memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Freire mendefinisikan pendidikan yaitu sebagai usaha memanusiakan manusia. Hampir mirip dengan filosofi pendidikan dari Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara(dimana materi ini saya dapatkan di diklat PROKM) yang mengatakan bahwa pendidikan adalah usaha untuk memanusiakan manusia; memerdekakan manusia; dan menyelaraskan manusia dengan alam dan masyarakatnya.
Berangkat dari filosofi di atas, maka institusi perguruan tinggi sebagai wadah dalam proses pendidikan formal pastinya memahami filosofi di atas (Tri Dharma Perguruan Tinggi). Hal itu juga pastinya dipahami dengan baik oleh para civitas akademikanya, termasuk mahasiswa. Sadar bahwa pembelajaran di kelas tidaklah cukup, dibentuklah organisasi mahasiswa sebagai alat mengorganisir upaya mendidik diri sendiri seperti tertuang di Konsepsi KM ITB.
Nah, upaya mendidik diri sendiri itu salah satunya melalui proses kaderisasi. Yang berarti yaitu kaderisasi adalah bagian integral dari proses pendidikan yang terjadi di kampus (dalam hal ini ITB). Saya memahami kaderisasi sebagai bentuk proses yang berkesinambungan dan kontinu, yang akan terus kita alami selama kita menjalani masa-masa kuliah di kampus. Sehingga nantinya output dari proses kaderisasi ini adalah terbentuknya alumni-alumni ITB yang berkarakter, yang kalau dalam bahasanya senator disebut sarjana yang utuh. Maka dibuatlah tahap-tahap kaderisasi itu, yang dikenal dengan Rancangan Umum Kaderisasi (RUK).
Dalam pelaksanaan yang saya lihat , kadangkala kaderisasi terikat dan terbelenggu oleh dogma kuno dan kultur-kultur yang dicoba untuk terus dipertahankan, terutama tentu saja di masa kaderisasi awal semacam osjur, interaksi, MPAB, PPAB atau nama-nama sejenisnya. Tradisi-tradisi yang jika ditilik dari berbagai sudut tidak memuat rasionalisasi. Kadangkala kita juga melihat tidak adanya proses dialektika di sana, antara yang dikader dengan yang meng-kader (dimana saya berpendapat bahwa proses pendidikan yang baik adalah proses yang berlangsung dua arah). Yang terjadi akhirnya adalah, sang kader pun merasa dijadikan obyek belaka, merasa terjejali dengan doktrin-doktrin yang ada, dan menganggap kegiatan-kegiatan seperti ini hanya ritual kampus saja.
Padahal belum tentu juga sang pengkader adalah orang-orang yang memang berkompetensi untuk jadi pengkader. Atau bahkan mungkin sang pengkader lupa bahwa sebenarnya dia juga masih ikut dalam proses kaderisasi. Terlena dengan statusnya sebagai senior dan tidak ingat karakteristik yang harusnya melekat padanya yaitu menjadi role model yang baik seperti tercantum di profil RUK tingkat 2.
Hal ini tentu saja berefek. Seiring dengan semakin mudahnya manusia memperoleh informasi dan juga semakin berkembangnya daya kritis seseorang, segelintir orang merasa bahwa hal-hal seperti yang terpapar di atas adalah sesuatu yang tidak berguna dan harus didobrak. Segelintir lainnya karena merasa kegiatan seperti itu hanyalah pembodohan, menjadi bersikap apatis dan memilih untuk tidak melanjutkan proses kaderisasi alias non-himpunan.
Tentu saja ini merugikan. Baik bagi yang akan dikader (karena tidak beroleh pembelajaran) dan juga bagi lembaganya sendiri (karena kehilangan kader). Yang memilih untuk terus mengikuti kaderisasi pun (karena mungkin tidak siap menerima konsekuensi sosial akibat status non-himp) mungkin akan memberi cap stigma jelek terhadap lembaga dan seniornya.
Padahal tujuan mengapa terbentuknya himpunan (dari yang saya dengar dan saya baca) sungguh mulia. Yang memuat banyak nilai diantaranya keprofesian dan pengabdian masyarakat. (Walaupun dalam sepandangan saya –yang sangat subjektif dan tentu saja masih awam karena belum berada di lembaga- himpunan cuma dianggap tempat nongkrong bagi sebagian orang dan baru terlihat gegap gempita ketika acara Wisuda dan arak-arakannya, Dies Natalis, Home Tournament dan osjur saja). Tapi tentu saja amat disayangkan ketika tujuan yang mulia itu sampai tidak dirasakan oleh banyak mahasiswa hanya karena frame berpikir mereka terhadap himpunan rusak karena masalah kaderisasinya saja. Sunggu sayang bukan pembelajaran yang harusnya mereka dapat menjadi tidak didapatkan? Saya yakin bahwa setiap lembaga pasti menginginkan yang terbaik dari setiap jenjang kaderisasi yang dibuatnya, akan tetapi apabila proses itu boleh saya analogikan, akan terasa lucu bukan apabila kita disuruh minum teh dalam kemasan botol akan tetapi tulisan di botol itu adalah merk minuman keras? yakinkah orang awam akan berani meminum isi dalam botol itu (yang jelas-jelas berisi teh tapi kemasannya tidak meyakinkan)?

NB: Tulisan ini cuma share pemikiran saja (dari orang yang tidak tahu apa-apa dan tak terkader dengan baik), tidak bermaksud menyerang siapapun.

2 responses to “Saya Bicara Soal Kaderisasi

  1. whoah this blog is fantastic i love studying your posts.
    Keep up the good work! You recognize, a lot of persons are hunting
    round for this information, you can help them greatly.

Tinggalkan komentar